Kamis, 31 Maret 2011

Bunda, Membangun Kantor Sendiri

Membangun Kantor sendiri, sekarang juga bisa, kalau Bunda mau.
Seseorang yang ingin berbisnis selalu mencari ide soal bisnis yang bisa sukses digarap. Tetapi, daripada susah-susah berburu ide, bukankah dari profesi dan karier yang Bunda tekuni juga bisa menjadi bisnis? Keuntungannya, Bunda sudah punya bekal pengalaman dalam bidang tersebut.

NEKAT PLUS KEYAKINAN


Berawal dari ketidakpuasan bekerja di lingkungan sebuah biro periklanan, Fitriandini Arif (30) memilih resign. Ketika itu, ia belum punya bayangan apa yang akan dikerjakannya. Ia pun lalu berkiprah sebagai freelance. Hingga suatu hari, lima rekan senior menawarinya mendirikan biro sendiri.

Fitri menangani bagian below the line, yakni kegiatan iklan lewat pengadaan event atau brand activation (terjalin komunikasi langsung antara brand dengan konsumen). Fitri bekerja di Berakar Komunikasi, biro periklanan yang berdiri pada 2008. Apa yang ia pelajari di bagian di tempat kerja sebelumnya, cukup ia jadikan modal.

Fitri merasa seperti bertemu soulmate. Rekan kerjanya yang baru ternyata juga punya idealisme yang sama, yakni menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan dan kekeluargaan, dan sebaliknya, tidak menomorsatukan keuntungan semata. “Kalau dalam pitching suatu proyek, kami gagal, kami tetap bisa tertawa. Berbisnis memang untuk mencari uang, tapi prinsip kami, bekerja haruslah menghasilkan kepuasan batin.”



PASSION, IDELISME, DAN REALITAS

Fitri sadar, karena kepuasan klien adalah segalanya maka ia membutuhkan kerja tim yang solid. Karenanya, memegang visi dan idealisme adalah syarat utama yang ia minta bagi mereka yang bergabung dalam tim kreatifnya. Dengan para sopir dan office boy pun Fitri membangun hubungan kekeluargaan. “Ketika kami mendapat uang, kami berbagi. Kami saling tahu berapa besar pen­dapatan masing-masing. Tidak ada yang merasa cemburu dalam hal pembagian gaji.”

Di kantor Fitri, senior belajar bersama dengan junior. “Yang berusia lebih tua belajar dari yang muda, dan sebaliknya,” jelas Fitri. Dengan cara itu, ia berharap kesenjangan hubungan kerja berkurang.

Dulu, sewaktu masih menjadi karyawan di kantor lama, Fitri tidak punya kewenangan menentukan klien atau produk yang ditangani. Suka atau tidak suka, ia harus menerima proyek yang didelegasikan kepadanya. “Di kantor sekarang, saya akan mengerjakan proyek yang saya suka, meski keuntungannya kecil saja,” tuturnya. Dalam menerima proyek pun, Fitri tidak berpegang pada besar atau kecilnya perusahaan klien. Ia lebih memilih berdasar kualitas produk.

Sama dengan Fitri, Anantya pun mencurahkan passion di kantor sendiri. Kendati ia dan Ramya tidak punya pengalaman berbisnis sendiri, berbekal kesamaan mimpi dan visi, mereka pede menjalankan kantor baru, Think.Web. “Jika ingin maju, memang harus nyemplung, belajar sambil praktik. Tidak ada satu sekolah pun yang mengajarkan bagaimana cara menjadi entrepreneur yang berhasil,” kata Anantya.

Ruang kerja di kantor lamanya yang hanya 3 x 5 meter, sekarang menempati sekaligus 3 lantai di gedung yang sama. Meski masih baru, mereka sudah menggaet 3 klien pada tahun pertama. Pada masa-masa awal, Anantya banyak bertanya dan melakukan riset. Mimpi besarnya adalah memberi konsultasi terbaik bagi banyak orang yang ingin membesarkan bisnis lewat internet.

Diakui Fitri, setahun pertama adalah cerita penuh perjuangan. Ia pernah ditipu seorang klien. “Klien tersebut mengulur-ulur waktu dan bahkan membayar lebih kecil dari kesepakatan. Wah, saya sempat menyesal kerja sendiri. Kalau bekerja untuk orang lain, saya tidak perlu perlu pusing menagih dan mengejar-ngejar setoran. Semua sudah ada yang menangani,” kenang Fitri.

Waktu itu Fitri memang single fighter di perusahaannya sendiri. Sekarang, ia sudah mendapat banyak bantuan. Salah satu staf barunya berpengalaman kerja di kantor besar dan bergaji ‘wah’. “Alasan dia bergabung dengan saya, juga karena ingin mencurahkan passion. Sekarang, tim inti kami ada 5 orang, dibantu beberapa karyawan freelance. Dengan adanya mereka, saya punya ‘sayap’ untuk terbang dan berkembang,” kata Fitri, senang.

Anantya juga pernah mengalami sulitnya mengatur keuangan usaha. Sebagai executive director, ia harus cermat menghitung pemasukan dan pengeluaran. “Soal cash flow memang rumit. Di atas kertas terlihat banyak pemasukan, tapi faktanya belum semua uang masuk ke kas karena ada yang belum dibayarkan,” ujar finalis Indonesian Young Creative Entrepreneur of the Year (IYCE) 2008 ini. Pernah juga beberapa stafnya mengundurkan diri. Hal ini juga masalah cukup berat baginya.

Anantya mengatakan, hubungannya dengan perusahaannya yang lama masih terjalin baik. Ia tidak mengambil alih (membajak) klien kantor lamanya itu. “Lagi pula, core bisnis kami berbeda,” katanya.

Sekarang, tim kerja Anantya berjumlah 25 orang. Selain tim kreatif dan produksi, ia juga memiliki tim HRD dan akuntansi yang dipegang orang muda usia 20-an. “Kami membangun divisi media sosial, seperti twitter dan aplikasi facebook. Ada juga divisi analisis, tugasnya mengukur statistik di online dan efektivitas suatu website,” jelasnya.

Fitri dan teman-temannya tidak punya ambisi untuk menjadi agensi yang besar. “Kami justru ingin membesarkan nama masing-masing individu di kantor ini dan orang-orang di sekitar kami,“ ujar pencetus festival balon udara pertama di tanah air ini.

Untuk membangun kantor sendiri, Fitri dan Anantya menganjurkan untuk memanfaatkan networking secara optimal. Baik dari rekomendasi klien terdahulu, word by mouth, atau pun lewat media sosial. Membuat profil di website juga yang layak dicoba agar klien tertarik untuk menggunakan produk atau jasa dari kantor baru Anda.


Nekat membuka kantor sendiri juga dilakukan Anantya Van Bronckhorst (30). Lulusan S-1 Ilmu Komunikasi dan S-2 Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia yang mulai bekerja tahun 2002 ini sebelumnya bekerja di sebuah production house (PH). Dulu, ia menangani divisi online. Meski ia memegang beberapa bidang sekaligus, mulai dari humas, produser program televisi, sampai scriptwriter, Anantya menemukan passion di industri online. Bersama rekan satu kantornya, Ramya Prajna, ia terpanggil untuk mendirikan perusahaan sendiri di bidang jasa online.

“Ilmu yang saya dapat selama 3 tahun menangani online cukup untuk bisa ‘jalan’ sendiri. Kami menyusun proposal, yang lantas kami jajaki kemungkinannya dengan atasan kami di PH. Kami utarakan modal yang kami butuhkan. Waktu itu kami masih fresh graduate, belum punya banyak tabungan. Yang kami punya adalah visi, yang kami yakin bisa berhasil. Kami ajak dia untuk sharing modal, sementara kami yang akan penuh menjalankannya,” ungkap Anantya.

Atasan Anantya tersebut ternyata punya visi dan misi yang cocok. Sehingga, jadilah mereka memisahkan diri dan merintis kantor baru. Mulai dari mencari klien, mengedukasi klien, mengurus finansial, membuat konsep, sampai melaksanakan proyek. Akta perusahaan terbatas (PT) selesai 2 tahun kemudian. Sejak itu, secara penuh mereka jalankan perusahaan tersebut sendiri, dibantu seorang programmer dan seorang content editor. Dengan adanya booming media sosial, klien tidak usah kami cari. Merekalah yang mencari kami,” tutur Anantya, senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar